Seiring dengan semakin parahnya krisis keuangan global, banyak
ekonom yang cenderung pesimis dengan kondisi perekonomian dunia dalam 2 tahun
kedepan. Menteri Keuangan di hampir seluruh negara sedang giat melakukan
program stimulus guna menyelamatkan perekonomian domestik masing-masing negara.
Dalam hal ini paket dan besaran stimulus berbeda di tiap negara tergantung dari
tingkat keparahan krisis.
Membuka kembali sejarah krisis ekonomi di Indonesia pada tahun
1998, salah satu penyebab utama krisis adalah nilai tukar Rupiah yang turun
sangat dalam. Kondisi serupa sedang terjadi belakangan ini, walaupun
dalam magnitude yang lebih kecil dibandingkan keadaan tahun
1998. Ekonom A. Tony Prasetiantono di Kompas (Senin 16-02-09) mengulas beberapa
faktor-faktor penyebab tren melemahnya nilai tukar rupiah. Diantara lima
faktor yang dibahas, terdapat tiga faktor yang menurut saya merupakan penyebab
utama tren melemahnya nilai tukar Rupiah. Faktor tersebut adalah:
- Penurunan
Surplus Perdagangan.
- Penurunan
Arus Modal Masuk.
- Penurunan
Suku Bunga BI
Rupiah
menjadi mata uang berkinerja paling bagus dalam tiga tahun terakhir ini. Pada
periode Januari 2008-April 2011, rupiah terapresiasi (menguat) 28 persen,
paling tinggi dibanding dengan won Korea 22 persen, ringgit Malaysia 17 persen,
dollar Singapura 16 persen, peso Filipina 10 persen, atau pun yuan China 4
persen.
Penurunan Surplus Perdagangan
Dengan melemahnya perekonomian dunia, permintaan barang dari Indonesia secara logika akan menurun. Menkeu Sri Mulyani dalam rapat dengan DPR mengatakan bahwa Ekspor Indonesia bulan Januari turun menjadi 5.5% dari sekitar 12% (YoY). Tren penurunan ini telah terjadi sejak Desember 2008 dan diprediksi akan terus mengalami penurunan selama kondisi perekonomian global belum membaik. Berikut data Ekspor-Impor dari BPS pada bulan Desember.
Dengan melemahnya perekonomian dunia, permintaan barang dari Indonesia secara logika akan menurun. Menkeu Sri Mulyani dalam rapat dengan DPR mengatakan bahwa Ekspor Indonesia bulan Januari turun menjadi 5.5% dari sekitar 12% (YoY). Tren penurunan ini telah terjadi sejak Desember 2008 dan diprediksi akan terus mengalami penurunan selama kondisi perekonomian global belum membaik. Berikut data Ekspor-Impor dari BPS pada bulan Desember.
Walaupun secara keseluruhan kinerja ekspor dalam tahun 2008 mengalami peningkatan dari tahun 2007, namun pada akhir tahun 2008 tren penurunan kinerja ekspor mulai terlihat. Sebagaimana dapat dilihat pada tabel diatas, persentase perubahan ekspor dari November 2008 ke Desember 2008 mengalami penurunan di seluruh komoditi terutama pada Komoditi Hasil Minyak sebesar -58.19%. Sedangkan pada Komoditi Non Migas penurunan ekspor terjadi sebesar -8.84%. Penurunan kinerja ekspor tersebut berdampak pada menurunnya permintaan akan Rupiah. Sehingga apabila kinerja ekspor tidak membaik, maka nilai tukar Rupiah diprediksi akan terus mengalami pelemahan. Chain effect yang secara logis dapat terjadi selain melemahnya Rupiah adalah meningkatnya pengangguran. Hal ini dikarenakan banyak produsen atau pabrik yang mengalami over production sebagai akibat dari penurunan permintaan dari abroad.
Penurunan Arus Modal Masuk
Krisis perekonomian global mengakibatkan aliran dana pada emerging markets seperti Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan investor mencari tempat yang aman untuk memarkir dana, sehingga negara dengan tingkat resiko tinggi seperti Indonesia mulai ditinggalkan. Fakta yang terjadi saat ini adalah investor tetap memarkir dananya di US treasury bonds walaupun yield-nya negatif. Fenomena ini disebut flight to quality. Berikut data balance of Payment Indonesiayang dirilis oleh BI.
BOP ( Juta USD)
Krisis perekonomian global mengakibatkan aliran dana pada emerging markets seperti Indonesia mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan investor mencari tempat yang aman untuk memarkir dana, sehingga negara dengan tingkat resiko tinggi seperti Indonesia mulai ditinggalkan. Fakta yang terjadi saat ini adalah investor tetap memarkir dananya di US treasury bonds walaupun yield-nya negatif. Fenomena ini disebut flight to quality. Berikut data balance of Payment Indonesiayang dirilis oleh BI.
BOP ( Juta USD)
Penurunan Suku Bunga BI
Faktor terakhir yang menyebabkan Rupiah tidak kunjung menguat adalah penurunan Suku Bunga BI menjadi 8.25 persen. Penurunan tersebut dapat dikatakan membuat arus modal asing semakin manjauh, sehingga permintaan akan Rupiah semakin menurun. Beberapa referensi mengatakan bahwa kondisi yang menyebabkan penurunan tersebut adalah deflasi yang terjadi akibat penurunan harga BBM. Dalam hal ini BI berani menurunkan suku bunga karena laju inflasi lebih rendah dari yang diperkirakan. Sehingga dapat dikatakan penurunan tersebut merupakan upaya BI untuk meningkatkan likuiditas di pasar, sehingga sektor riil masih dapat bergerak walaupun arus modal asing banyak yang keluar. Namun demikian apakah kekuatan modal domestik mampu menopang jalannya perekonomian? Implikasi kebijakan ini pada perekonomian baru dapat dilihat dalam beberapa bulan kedepan.
Faktor terakhir yang menyebabkan Rupiah tidak kunjung menguat adalah penurunan Suku Bunga BI menjadi 8.25 persen. Penurunan tersebut dapat dikatakan membuat arus modal asing semakin manjauh, sehingga permintaan akan Rupiah semakin menurun. Beberapa referensi mengatakan bahwa kondisi yang menyebabkan penurunan tersebut adalah deflasi yang terjadi akibat penurunan harga BBM. Dalam hal ini BI berani menurunkan suku bunga karena laju inflasi lebih rendah dari yang diperkirakan. Sehingga dapat dikatakan penurunan tersebut merupakan upaya BI untuk meningkatkan likuiditas di pasar, sehingga sektor riil masih dapat bergerak walaupun arus modal asing banyak yang keluar. Namun demikian apakah kekuatan modal domestik mampu menopang jalannya perekonomian? Implikasi kebijakan ini pada perekonomian baru dapat dilihat dalam beberapa bulan kedepan.
Prediksi Nilai Rupiah
Nilai tukar Rupiah dalam beberapa bulan kedepan diprediksi masih akan melemah. Faktor penting yang menurut saya dapat mempengaruhi kekuatan Rupiah adalah arus modal asing yang masuk ke Indonesia. Dalam hal ini program stimulus fiskal yang akan dilakukan oleh Barrack Obama merupakan momen krusial perekonomian AS. Apabila program tersebut berhasil membawa AS keluar dari krisis, maka kemungkinan meningkatnya arus modal asing ke Indonesia menjadi besar. Hal ini kemudian diharapkan dapat kembali meningkatkan nilai tukar Rupiah.
Nilai tukar Rupiah dalam beberapa bulan kedepan diprediksi masih akan melemah. Faktor penting yang menurut saya dapat mempengaruhi kekuatan Rupiah adalah arus modal asing yang masuk ke Indonesia. Dalam hal ini program stimulus fiskal yang akan dilakukan oleh Barrack Obama merupakan momen krusial perekonomian AS. Apabila program tersebut berhasil membawa AS keluar dari krisis, maka kemungkinan meningkatnya arus modal asing ke Indonesia menjadi besar. Hal ini kemudian diharapkan dapat kembali meningkatkan nilai tukar Rupiah.
Terdapat beberapa faktor, baik eksternal atau pun internal yang mendorong terjadinya apresiasi rupiah.
A. Pertama, pemulihan perekonomian AS dipandang
masih sangat volatile, sebagaimana terindikasi dari lambatnya penurunan
penganggguran dari 9,8 persen (Januari 2010) menjadi 8,8 persen (April
2011).Hal ini memaksa the Fed (Bank Sentral AS) mematok dan menahan suku bunga
rendah pada level 0,25 persen.Selain itu, the Fed memberikan sinyal untuk tetap
menerapkan kebijakan stimulus dalam skema quantitative easing senilai 600
miliar dollar AS. Dua kebijakan itu membuat suplai USD di pasar bertambah
banyak dan nilainya terhadap rupiah (dan beberapa mata uang lainnya) mengalami
penurunan.
B. Kedua, proses pemulihan perekonomian AS membuat
permintaan di negara itu terhadap produk-produk yang dihasilkan negara lain
mengalami peningkatan cukup signifikan.
C. Ketiga, suku bunga acuan yang ditetapkan BI (BI
Rate) sebesar 6,75 persen lebih tinggi dibanding dengan suku bunga di beberapa
negara kompetitor, seperti Malaysia (2,75 persen), Thailand (2,75 persen), dan
China (3,25 persen). Hal ini membuat pasar keuangan Indonesia relatif lebih
menarik daripada pasar keuangan di beberapa negara tersebut. Menariknya, pasar
keuangan membuat arus dana asing (capital inflow) yang meminta rupiah mengalir
deras ke negeri ini.
D. Keempat, agresifnya pemerintah dan perusahaan
menerbitkan obligasi membuat permintaan USD terhadap rupiah mengalami
peningkatan.Tingginya permintaan terhadap obligasi ini membuat nilai rupiah
terkerek naik ke atas.
Segi
Positive dalam Penurunan Nilai Tukar
Penguatan rupiah bisa menimbulkan berkah dan
masalah bagi perekonomian Indonesia. Dalam kaitan dengan berkah, beberapa hal
yang kemungkinan bisa dinikmati perekonomian Indonesia adalah.
a.
Pertama, dalam APBN 2011, pemerintah mengalokasikan 38,6 persen dari
belanjanya (301,2 triliun rupiah) untuk bayar utang (dalam dan luar negeri) dan
subsidi. Beberapa komoditas yang disubsidi (BBM) harus diimpor dari luar
negeri. Karena itu, penguatan rupiah akan membuat kewajiban bayar utang (dari
luar negeri) dan anggaran subsidi mengalami penurunan.Tidak mengherankan bila
muncul prediksi bahwa setiap rupiah menguat 100 rupiah, maka belanja negara
akan bisa dihemat sebesar 400 miliar rupiah.
b.
Kedua, penguatan rupiah mengurangi tekanan infl asi yang berasal dari
imported infl ation. Penurunan infl asi year-on-year dari 6,65 persen (Maret
2011) menjadi 6,16 persen (April 2011) sedikit banyak dipengaruhi apresiasi rupiah.
Karena itu, BI memunyai sedikit ruang untuk tidak menaikkan BI Rate yang bisa
bersifat kontraproduktif terhadap bunga kredit yang dibutuhkan sektor riil.
c.
Ketiga, apresiasi rupiah juga memberikan keuntungan bagi importir. Jika
barang-barang yang diimpor itu merupakan barang modal (mesin dan peralatan) dan
bahan baku (gandum), maka kapasitas produksi perekonomian bisa ditingkatkan
karena biaya produksi yang harus dikeluarkan secara relatif akan menjadi lebih
murah.
Namun demikian, apresiasi rupiah juga berpotensi
membawa masalah bagi perekonomian, utamanya pada sisi neraca
perdagangan.Artinya, di satu sisi, industri dengan orientasi ekspor, seperti
tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, dan elektronik, adalah mereka yang
akan mendapatkan masalah dari terjadinya penguatan rupiah. Secara relatif,
produk-produk mereka di pasar ekspor akan menjadi lebih mahal sehingga
berpotensi menekan pendapatan (dalam rupiah) mereka.
Selain itu, produk-produk ekspor Indonesia akan
mendapatkan persaingan (dari sisi harga) yang lebih ketat dari produk yang
berasal dari negara dengan apresiasi mata uang lebih rendah dari rupiah,
seperti Malaysia, Thailand, dan China.Untuk itu, dibutuhkan kreativitas dan
inovasi untuk meningkatkan kualitas produk. Tanpa adanya peningkatan kualitas,
dengan harga yang relatif menjadi lebih mahal, boleh jadi produk-produk ekspor
Indonesia tidak akan mampu mempertahankan posisinya di beberapa negara tujuan
ekspor.
Di sisi yang lain, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, penguatan rupiah akan meningkatkan intensitas penetrasi
produk-produk impor.Kondisi seperti ini akan membuat industri penghasil
barang-barang konsumsi dengan orientasi pasar domestik akan mendapatkan
persaingan yang lebih ketat dari barang-barang konsumsi impor.
Pada gilirannya, penurunan ekspor dan peningkatan
impor ini akan menekan neraca perdagangan. Laporan BPS (2/5) yang menunjukkan
terjadinya penurunan surplus perdagangan dari 2,4 dollar AS pada Februari
menjadi 1,81 miliar dollar AS pada Maret 2011 boleh jadi merupakan akibat dari
semakin kuatnya nilai tukar rupiah.
Beranjak dari analisis bahwa apresiasi rupiah
membawa berkah sekaligus masalah, BI tampaknya perlu lebih proaktif memonitor
dan mengawal penguatan rupiah. Dalam kaitan ini, ada baiknya BI memiliki batas
toleransi sampai pada level berapa rupiah boleh mengalami apresiasi.
Pada kondisi ketika batas toleransi itu sudah
terlewati, BI perlu melakukan intervensi, meskipun dengan konsekuensi
mengeluarkan biaya moneter yang tidak murah. Secara psikologis, intervensi yang
dilakukan BI ini akan menambah keyakinan pelaku usaha bahwa mereka tidak
dibiarkan berjuang sendirian, sesuatu yang sudah sangat jarang dirasakan pelaku
usaha akhir-akhir ini.
No comments:
Post a Comment